Kamis, 22 Desember 2016

Review Buku : “Teologi Feminisme Islam” Syarif Hidayatullah, M.Ag., M.A.

Pemahaman yang keliru akan nash al-Qur’an dan Hadits terutama yang berkaitan dengan persoalan perempuan disinyalir sebagai awal dari adanya sikap pendiskreditan perempuan diranah publik. Perempuan dianggap sebagai makhluk kedua yang kedudukannya di bawah laki-laki. Namun jika hendak bersikap bijak dengan merujuk lagi ke nash al-Qur’an dan Hadits maka akan didapati bahwa Islam sebagai agama yang universal sangat menghormati perempuan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau dalam hal ini Islam sangat menyokong kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Jika al-Qur’an dan Hadits saja menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan yang signifikan, maka pertanyaannya adalah berasal dari manakah pandangan yang mengatakan ada perbedaan di antara keduanya?
Menurut para aktivis feminisme mengatakan bahwa pandangan yang demikian berasal dari pemahaman Ulama terdahulu yang berkaitan dengan pemahaman tentang kedudukan dan peran perempuan yang ada di dalam al-Qur’an dan Hadits yang mereka tulis di dalam kitab-kitab tafsir dan lain sebagainya. Oleh karena itu penyebab utama dalam permasalahan penomorduaan perempuan di bawah laki-laki berasal dari pemahaman teologis yang bias gender di kalangan Ulama terdahulu yang berkaitan doktrin dan ajaran agama Islam.
Di dalam buku ini mencoba mengungkap akar masalah terkait dengan persoalan yang disebutkan di atas dan berkesimpulan bahwa ada sejumlah persoalan teologis yang terkait erat dengan isu feminisme, yaitu konsep penciptaan manusia dalam al-Qur’an, hijab-isasi atau pembatasan perempuan dalam ruang publik dan domestik, dan soal metodologi penafsiran yang melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Persoalan-persoalan tersebut muncul—menurut penulis buku ini—dikarenakan konsepsi teologis umat Islam yang masih hanya berbicara tentang konsep Tuhan dan mengabaikan masalah sosial yang ada di hadapannya. Selain itu, ada anggapan bahwa teologi Islam adalah sudah final dan tidak boleh diperbaharui. Padahal ada satu realitas sosial yang perlu disikapi, yaitu diskriminasi gender.
Penulis buku ini menyebut dalam bab pertamanya yang berjudul ‘Menggugat Bias Gender’ bahwa persoalan mengakarnya fenomena ketimpangan gender dalam masyarakat muslim diakibatkan adanya faktor eksternal dan faktor internal yang mengitarinya. Secara eksternal penyebabnya adalah realitas sosial politik maupun ekonomi global yang masih berpihak pada pelestarian budaya patriarki. Sedangkan secara internal pemahaman umat Islam sendiri yang masih bias gender. Dalam tulisan ini penulis mereinterpretasi pemahaman-pemahaman yang masih bias gender dengan pemahaman yang terbebas dari bias gender.
Selanjutnya dalam buku ini dijelaskan mengenai Persoalan-Persoalan Teologis dalam Feminisme Islam, di dalamnya terdapat tiga masalah urgen yang menjadi awal terjadinya ketimpangan gender yaitu persoalan penciptaaan manusia, persoalan hijab dan metodologi penafsiran teologi feminisme Islam. Dalam persoalan penciptaan manusia penulis buku ini menggugat  pemahaman yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki. Tulisan ini sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya ketika Allah menciptakan manusia tidak menyebutkan secara jelas perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan problem hijab-isasi perempuan dalam ruang publik di tengah masyarakat Muslim terjadi akibat ketidakjelasan dikotomi wacana publik dan privat dalam Islam. Perempuan Islam tetap menjalankan tugas reproduksinya tanpa meninggalkan kehidupan publiknya. Penulis buku ini mencontohkan istri-istri Rasulullah SAWW yang ikut andil dalam ruang publik dan tak melupakan peranan domestiknya. Dan persoalan ketiga adalah metodologi penafsiran suatu teks yang digunakan masih bias gender. Penulis buku ini menegaskan bahwa metodologi penafsiran terhadap teologi bisa berakibat fatal yaitu melanggengkan dinasti patriarkal.
Adapun solusi untuk problem-problem teologis yang penulis utarakan terkait dengan isu feminisme ini yaitu perlu dikembalikan kepada spirit ideal yang ada dalam al-Qur’an, yakni keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, dan kerahmatan untuk semua, tanpa dibatasi oleh perbedaan gender.
Teologi feminisme Islam hendaknya dikonsepsikan untuk melakukan upaya penghapusan diskriminasi jender, terutama yang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang bias jender dan untuk memberikan pandangan keagamaan alternatif melawan struktur dan kultur yang tidak adil dan mengabaikan hak asasi perempuan serta memungkinkan terjadinya dialektika akomodatif antara doktrin Islam dengan realitas sosial seperti keadilan, perampasan hak, termasuk terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Dalam konteks menghilangkan bias jender dalam konsepsi teologis umat Islam dalam memahami ajaran agamanya maka meniscayakan adanya upaya-upaya rekonstruktif pada tataran teologi feminismenya. Namun perlu diperhatikan, rekonstruksi teologi feminisme Islam ini harus tetap mempertimbangkan kembali prinsip-prinsip yang diajarkan Islam dalam konteks perbaikan posisi perempuan, yaitu: pertama, persaudaraan nasab (keturunan) dan, kedua, persamaan dalam paham kemanusiaan. oleh kalangan feminis. Ayat-ayat teologis yang sementara ini diinterpretasikan bias jender juga harus dikaji ulang dan ditafsirkan kembali dengan menggunakan pendekatan kesetaraan dan keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan. Sebab, prinsip dasar ideal dalam Islam, adalah memperjuangkan persamaan dan keadilan antara lelaki dan perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar