Pemahaman yang keliru akan nash
al-Qur’an dan Hadits terutama yang berkaitan dengan persoalan perempuan
disinyalir sebagai awal dari adanya sikap pendiskreditan perempuan diranah publik.
Perempuan dianggap sebagai makhluk kedua yang kedudukannya di bawah laki-laki.
Namun jika hendak bersikap bijak dengan merujuk lagi ke nash al-Qur’an dan Hadits
maka akan didapati bahwa Islam sebagai agama yang universal sangat menghormati
perempuan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau dalam hal
ini Islam sangat menyokong kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Jika al-Qur’an dan Hadits saja menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan
tidak ada perbedaan yang signifikan, maka pertanyaannya adalah berasal dari
manakah pandangan yang mengatakan ada perbedaan di antara keduanya?
Menurut para aktivis feminisme
mengatakan bahwa pandangan yang demikian berasal dari pemahaman Ulama terdahulu
yang berkaitan dengan pemahaman tentang kedudukan dan peran perempuan yang ada
di dalam al-Qur’an dan Hadits yang mereka tulis di dalam kitab-kitab tafsir dan
lain sebagainya. Oleh karena itu penyebab utama dalam permasalahan penomorduaan
perempuan di bawah laki-laki berasal dari pemahaman teologis yang bias gender
di kalangan Ulama terdahulu yang berkaitan doktrin dan ajaran agama Islam.
Di dalam buku ini mencoba mengungkap
akar masalah terkait dengan persoalan yang disebutkan di atas dan berkesimpulan
bahwa ada
sejumlah persoalan teologis yang terkait erat dengan isu feminisme, yaitu
konsep penciptaan manusia dalam al-Qur’an, hijab-isasi atau pembatasan
perempuan dalam ruang publik dan domestik, dan soal metodologi penafsiran yang
melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Persoalan-persoalan tersebut
muncul—menurut penulis buku ini—dikarenakan konsepsi teologis umat Islam yang
masih hanya berbicara tentang konsep Tuhan dan mengabaikan masalah sosial yang
ada di hadapannya. Selain itu, ada anggapan bahwa teologi Islam adalah sudah
final dan tidak boleh diperbaharui. Padahal ada satu realitas sosial yang perlu
disikapi, yaitu diskriminasi gender.
Penulis buku ini menyebut dalam bab
pertamanya yang berjudul ‘Menggugat Bias Gender’ bahwa persoalan mengakarnya
fenomena ketimpangan gender dalam masyarakat muslim diakibatkan adanya faktor
eksternal dan faktor internal yang mengitarinya. Secara eksternal penyebabnya
adalah realitas sosial politik maupun ekonomi global yang masih berpihak pada
pelestarian budaya patriarki. Sedangkan secara internal pemahaman umat Islam
sendiri yang masih bias gender. Dalam tulisan ini penulis mereinterpretasi
pemahaman-pemahaman yang masih bias gender dengan pemahaman yang terbebas dari
bias gender.
Selanjutnya dalam buku ini dijelaskan
mengenai Persoalan-Persoalan Teologis dalam Feminisme Islam, di dalamnya terdapat tiga masalah urgen yang menjadi awal
terjadinya ketimpangan gender yaitu persoalan penciptaaan manusia, persoalan
hijab dan metodologi penafsiran teologi feminisme Islam. Dalam persoalan
penciptaan manusia penulis buku ini menggugat pemahaman yang mengatakan
bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki. Tulisan ini sampai pada kesimpulan
bahwa sebenarnya ketika Allah menciptakan manusia tidak menyebutkan secara
jelas perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan problem hijab-isasi
perempuan dalam ruang publik di tengah masyarakat Muslim terjadi akibat
ketidakjelasan dikotomi wacana publik dan privat dalam Islam. Perempuan Islam
tetap menjalankan tugas reproduksinya tanpa meninggalkan kehidupan publiknya.
Penulis buku ini mencontohkan istri-istri Rasulullah SAWW yang ikut andil dalam
ruang publik dan tak melupakan peranan domestiknya. Dan persoalan ketiga adalah
metodologi penafsiran suatu teks yang digunakan masih bias gender. Penulis buku
ini menegaskan bahwa metodologi penafsiran terhadap teologi bisa berakibat
fatal yaitu melanggengkan dinasti patriarkal.
Adapun solusi untuk problem-problem
teologis yang penulis utarakan terkait dengan isu feminisme ini yaitu perlu
dikembalikan kepada spirit ideal yang ada dalam al-Qur’an, yakni keadilan,
kesetaraan, kemaslahatan, dan kerahmatan untuk semua, tanpa dibatasi oleh
perbedaan gender.
Teologi feminisme Islam hendaknya
dikonsepsikan untuk melakukan upaya penghapusan diskriminasi jender, terutama
yang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang bias jender dan untuk memberikan
pandangan keagamaan alternatif melawan struktur dan kultur yang tidak adil dan
mengabaikan hak asasi perempuan serta memungkinkan terjadinya dialektika
akomodatif antara doktrin Islam dengan realitas sosial seperti keadilan,
perampasan hak, termasuk terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Dalam konteks menghilangkan bias jender dalam
konsepsi teologis umat Islam dalam memahami ajaran agamanya maka meniscayakan
adanya upaya-upaya rekonstruktif pada tataran teologi feminismenya. Namun perlu
diperhatikan, rekonstruksi teologi feminisme Islam ini harus tetap
mempertimbangkan kembali prinsip-prinsip yang diajarkan Islam dalam konteks
perbaikan posisi perempuan, yaitu: pertama, persaudaraan nasab (keturunan) dan,
kedua, persamaan dalam paham kemanusiaan. oleh kalangan feminis. Ayat-ayat
teologis yang sementara ini diinterpretasikan bias jender juga harus dikaji
ulang dan ditafsirkan kembali dengan menggunakan pendekatan kesetaraan dan
keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan. Sebab, prinsip dasar ideal
dalam Islam, adalah memperjuangkan persamaan dan keadilan antara lelaki dan
perempuan.